Oleh: Bambang Sismedi Saputro
Seiring perkembangan
zaman, dewasa ini media sosial viral dengan kata-kata “Kids Zaman Now”. Strukur bahasa yang campur aduk menjadikan bahan
perbincangan yang unik, menarik dan pelengkap pada saat ngobrol antar sesama. Tidak
hanya anak-anak, remaja, dan orang dewasa pun juga menggunakan kata-kata
tersebut.
Berdasarkan salah satu website, ternyata kalimat yang
kini sedang viral ini awalnya diunggah oleh akun palsu dengan nama Seto Mulyadi.
Seto Mulyadi adalah pemerhati dan psikolog anak yang juga ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia. Istilah ini sebenarnya merupakan
guyonan untuk menyikapi kelakuan aneh dan tidak wajar dari anak jaman sekarang
tapi oleh mereka dianggap lazim. Dari segi bahasa, 'Kids' dan 'Now'
merupakan kata yang berasal bahasa inggris. Kids artinya anak-anak,
dan Now adalah sekarang. Yang menjadi aneh, kedua kata
inggris tersebut justru digabungkan kedalam satu kalimat dengan kata 'Jaman'
yang berasal dari bahasa Indonesia. Tapi inilah yang membuatnya jadi
lucu. Kids Jaman Now, maksudnya adalah Anak-anak jaman
sekarang. [1]
Dengan demikian, kata-kata
tersebut sebagai ungkapan kondisi anak-anak zaman sekarang yang dianggap tidak
wajar, aneh, bahkan ada sesuatu menyeleweng. Salah satu kelakuan anak sekarang
ini menurut data Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA) mengungkapkan dari 4.500 remaja di 12 kota di Indonesia, 97%
pernah melihat pornografi. Begitu juga di kalangan siswa. Dari 2.818 siswa, 60%
pernah melihat tayangan yang tidak senonoh itu.[2] Dari jumlah data yang
fantastis, menjadikan keprihatinan orang tua dan pendidik. Harusnya anak seusia
tersebut sibuk dengan belajar akan tetapi sudah tercemari dengan perilaku yang
menyimpang. Perlu adanya pengawasan dan perhatian ekstra supaya anak-anak tidak
terpengaruh dengan hal-hal negatif yang bisa merusak masa depannya.
Selain itu, kondisi lingkungan anak yang kurang
kondusif dan kurangnya kontrol penggunaan media sosial menjadikan salah satu
penyebab anak-anak mudah mem bully ke
teman-tamannya. Bullying merupakan
aktivitas sadar, disengaja, dan bertujuan untuk melukai, menanamkan katakutan
melalui ancaman agresi lebih lanjut, dan menciptakan terror yang disadari oleh
ketidakseimbanagn kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut,
yang dapat terjadi penindasan meningkat tanpa henti.[3]
Kasus mem bully
menjadi ancaman serius bagi anak. Anak yang menjadi korban bully tertekan, ketakutan dan kawatir terjadi sesuatu pada dirinya.
Kondisi ini jika terjadi pada lingkungan sekolah akan menimbulkan keresahan dan
terganggunya belajar peserta didik. Kondisi anak sekarang ini perlu
adanya pengawasan ekstra dari orang tua dan sekolah. apabila kenakalan anak tidak
segera ditangani akan berdampak pada kondisi anak yang nantinya sulit untuk
diarahkan, dikontrol dan dididik.
Kenakalan anak pada
umumnya kurang memiliki kontrol diri, atau justru menyalah gunakan kontrol diri
tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah laku sendiri. Kenakalan pada
umumnya dilakukan untuk mencapai satu objek tertentu dengan disertai kekerasan
dan agresi.[4]
Kondisi yang demikian, anak harus punya proteksi untuk melawan hal-hal yang
merugikan dirinya dengan karakter yang kuat dan didukung dengan pengawasan
orangtua dan guru.
Tanamkan karakter
pada anak
Menurut Al-Ghazali
menekankan pentingnya pembentukan karakter. Dengan memberikan pendidikan
karakter yang baik maka orangtua sudah membantu anak-anaknya untuk hidup sesuai
jalan yang lurus.[5]
Pendidikan karakter menjadi
pondasi dan bekal anak. Dengan pondasi karakter yang kuat, menghindarkan anak
terpengaruh dengan kenakalan anak dan hal-hal yang merugikan. Bagaimanapun anak
sebagai asset masa depan orangtua maka perlu filter sejak dini dan bekal karakter
yang cukup sehingga anak siap untuk mengarungi kehidupannya tanpa kawatir
terjerumus pada hal-hal yang merusak masa depannya.
Untuk mendidik karakter
di zaman sekarang ini butuh adanya kerjasama semua pihak. Tidak hanya keluarga tetapi
pihak sekolah dan lingkungan pun juga ikut andil.
Dalam ruang lingkup
lembaga pendidikan (sekolah/ madrasah), Mulyasa (2013: 13-40) menyatakan bahwa
kunci sukses pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut: [6]
a) pahami hakekat pendidikan karakter; b) sosialisasi dengan tepat; c) ciptakan
lingkungan yang kondusif; d) dukung dengan fasilitas dan sumber belajar yang
memadai; e) tumbuhkan disiplin peserta didik; f) pilih pimpinan yang amanah; g)
wujudkan guru yang dapat digugu dan ditiru; dan h) libatkan seluruh warga
sekolah.
Sekolah sebagai
lembaga pendidikan anak ikut andil dalam membekali anak selain pengetahun juga
karakter. Berikan teladan dari gurunya yang bisa dicontoh anak-anak didik.
selain itu, peran orang tua dalam mendidik anak sangat besar pengaruhnya dalam
proses perkembangan anak, meskipun perlu didukung oleh lembaga-lembaga sosial
seperti sekolah dan juga lingkungan. Begitu juga sikap suami terhadap istri dan
sebaliknya, sangat berpengaruh dalam pendidikan di keluarga, karena hal ini
akan dapat mempengaruhi karakteristik atau perilaku anak. Keberhasilan seorang
anak, sangat ditentukan oleh keluarga, karena di situlah anak pertama mendapat
pendidikan.[7]
Bangun karakter anak mulai dari
keluarga
Pengembangan karakter dilakukan dengan menanamkan
nilai-nilai etika dasar (core ethical values) sebagai basis bagi
karakter yang baik. Tujuannya adalah agar anak mempunyai karakter yang baik.
Indikator karakter yang baik terdiri dari pemahaman dan kepedulian pada
nilai-nilai etika dasar serta tindakan atas dasar inti nilai etika atau etika
yang murni. Untuk itu, Yus (2008) menjelaskan bahwa karakter harus
didefinisikan secara komprehensif yang dalam pengembangannya menyentuh kawasan
kognitif, afektif dan perilaku.[8]
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan, untuk
mendidik anak zaman sekarang peran keluarga sangat urgen sebagai penanaman
karakter yang utama. Orangtua selaku gurunya anak di rumah berkewajiban
membekali karakter kepada anak seperti adab bertata krama, berbicara sopan,
menghargai orang yang lebih tua, jujur, terbuka dan ajaklah komunikasi secara
intensif dan berikan problem solving
pada masalah yang dihadapi anak sehingga diharapkan karakter anak terbangun
secara unggul sebagai bekal dalam kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
[3]
Nisa, Adilla. (2012). Pengaruh
kontrol sosial terhadap perilaku bullying Pelajar di sekolah menengah
pertama. Jurnal Kriminologi Indonesia, 5 (1). Halaman
58
[4]Nina
Siti Salmaniah Siregar (2015).
Latar Belakang Tindakan Kenakalan Anak pada Usia 13 sampai 17 Tahun. JPPUMA:
Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik Universitas Medan Area, 3(1),
87-102. Halaman 91
[5] A. Fatih Suhud.
Pendidikan Islam Cara Mendidik Anak Salih, Smart dan Pekerja Keras. Al Khoirat.
Halaman 52
[6] Muhammad Ali Ramdhani. (2017). Lingkungan Pendidikan
dalam Implementasi Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan UNIGA, 8(1),
28-37. Halaman 32
[7] Darosy Endah
Hyoscyamina. (2011). Peran keluarga dalam membangun karakter anak. Jurnal
Psikologi Undip, 10 (2), 144-152. Halaman 147-148
[8]
Eva Imania Eliasa. (2011). Pentingnya Kelekatan Orangtua
dalam Internal Working Model untuk pembentukan Karakter Anak (Kajian Berdasarkan
Teori Kelekatan dari John Bowlby). dalam Karakter Sebagai Saripati
Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Yogyakarta: Inti Media Yogyakarta bekerjasama
dengan Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini Lembaga Penelitian Universitas
Negeri Yogyakarta.