OLEH: BAMBANG
SISMEDI SAPUTRO
Pendidikan merupakan hak setiap masing-masing
warga negara. Pendidikan menempati posisi urgen untuk masa depan anak. Dengan
pendidikan, anak mendapatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang berharga.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 31 ayat 1 menyebutkan setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. [1] Dengan
demikian, pendidikan menjadi hak setiap orang. Tidak hanya orang dewasa, ramaja
dan anak-anak yang normal tetapi anak berkebutuhan khusus (ABK) pun juga berhak
mendapat pendidikan. Pendidikan untuk ABK disebut juga dengan pendidikan
inklusi yang didalamnya terdapat berbagai macam anak berlatar belakang dengan
bawaan cacat pada tubuhnya.
Indonesia
Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus
2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk
mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap
penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor,jalur, jenis
dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak
yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama
bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6
ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat). Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah
inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah
didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan
35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang
diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu
mendapat pelayanan khusus.[2]
Pendidikan inklusi
merupakan salah satu pendidikan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang
mengalami kebutuhan khusus. Pendidikan ini sebagai wadah untuk mengakomodir
orang-orang yang mengalami kecacatan fisik. Selama ini ada sebagian anak-anak
yang mengalami kekurangan fisik mengenyam pendidikan formal di tempat sekolah
umum. Dengan kondisi demikian, penanganan ABK mengalami keterlambatan akademik dan
bersosialisasi dibanding dengan peserta didik yang normal.
Pendidikan
Inklusi
Pendidikan inklusi adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya.[3] Sedangkan
menurut Ormrod dalam
tulisannya Elisa & Wrastari
Pendidikan inklusi adalah praktek yang mendidik semua peserta didik, termasuk
yang mengalami hambatan yang parah ataupun majemuk, di sekolah-sekolah reguler
yang biasanya dimasuki anak-anak non berkebutuhan khusus.
Sedangkan menurut Praptiningrum pendidikan inklusif merupakan satu
sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan
khusus dilayani di sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman usianya.
[4] Berarti anak
berkebutuhan khusus mengenyam pendidikan pada sekolah umum dengan mendapatkan pelayanan
yang sama tanpa ada perbedaan.
Pendidikan Inklusi bertujuan agar
anak-anak yang berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler, dan
dapat hidup seperti anak-anak normal lainnya, memberikan kesempatan kepada anak
berkebutuhan khusus dapat belajar dan bersosialisasi dengan teman sebaya mereka
tanpa ada halangan. Pendidikan inklusi juga menerapkan nilai sosial yang tinggi
agar anak-anak yang berkebutuhan khusus tidak lagi dikucilkan atau dihindari
dan menghilangkan stigma bahwa anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak
cacat. Anak-anak yang berkebutuhan khusus pada dasarnya juga memiliki banyak
potensi yang bisa digali dari mereka, sudah terbukti ada banyak sekali
motivator dunia yang lahir dari anak-anak khusus, seperti: Helen Keller dan
Nick Vujicic.[5]
Dengan demikian setiap lembaga pendidikan formal harus
menerima anak yang tergolong tersebut tanpa membeda-bedakan. Namun realita yang
terjadi dilapangan, anak dengan kondisi ABK mendapat perlakuan yang berbeda
dengan anak yang tergolong normal.
Pada
kondisi seperti ini, sekolah menjadi terkendala jika anak tersebut diterima akan
menyulitkan guru dalam penanganan karena terbatas sumber daya tetapi kalau
tidak diterima juga menyalahi undang-undang. Sekolah sebagai tempat untuk
belajar menjadi dambaan setiap peserta didik akan tetapi lain halnya anak
dengan kondisi ABK akan membutuhkan tenaga ekstra untuk membimbing,
mengarahkan, dan mendididk anak tersebut.
Guru itu
sendiri merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.[6] Dengan
demikian setiap peserta didik yang berada pada lembaga lembaga pendidikan
menjadi tugasnya guru untuk mendidik, mengarahkan dan membimbing.
Karena pendidikan menjadi hak setiap warga negara maka
menjadi tugas pemerintah untuk memfasilitasi lembaga pendidikan sebagai tempat
untuk belajar. Menurut
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 3 menjelaskan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.[7] Dengan
amanah undang-undang pemerintah selaku pemangku kebijakan harus memfasilitasi
ABK untuk mendapat pendidikan sesuai haknya di sekolah formal tanpa ada
pengecualian.
Kelas Inklusi
Pendidikan anak berkebutuhan khusus
di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:[8]
1.
Kelas
Reguler (Inklusi Penuh)
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus sepanjang hari
di kelas regular dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2. Kelas Reguler dengan Cluster
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas
reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas Reguler dengan Pull Out
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas
reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang
lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas Reguler dengan Cluster dan
Pull Out
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas
reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu waktu tertentu ditarik dari
kelas regular ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5.
Kelas
Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian
Anak
berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun
dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus
di kelas reguler.
6.
Kelas
Khusus Penuh
Anak
berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Adapun menurut Rona Fitria ada lima profil pembelajaran di kelas
inklusif diantaranya:[9]
a.
Pendidikan
inklusi menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman
dan menghargai perbedaan.
b.
Pendididkan
inklusi berarti penerapan kurikulum yang multi level dan multi modalitas.
c.
Pendidikan
inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
d.
Pendidikan
inklusi berarti menyediakan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus
menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
e.
Pendidikan
inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Di
Indonesia sendiri, berdasarkan pada survey Badan Pusat Statistik (BPS) dalam
Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS), jumlah penyandang cacat terus bertambah dari
tahun ke tahun. Dari survey awal yang dilakukan BPS tahun 1998 menjelaskan
bahwa jumlah angka kecacatan dalam populasi tahun tersebut sebesar 1.601.005
jiwa yaitu sekitar 0,8% dari total penduduk. Kemudian tahun 2003, BPS melakukan
survey kembali dengan rincian jenis kecacatan per provinsi yang hasilnya jumlah
penyandang cacat mencapai 2.454.359 jiwa atau sekitra 2% dari total 215.276.000
jiwa pendududk Indonesia. Sedangkan pada tahun 2006, jumlah tersebut mengalami
peningkatan hingga mencapai 2.810.212 jiwa. Dan data terakhir menunjukkan bahwa
jumlah penyandang difabilitas di Indonesia mencapai sekitar 2% dari total
244.775.796 jiwa penduduk Indonesia, atau sebesar 3.654.356 jiwa.[10]
Dari data
diatas bisa ditarik kesimpulan bertambahnya jumlah ABK tiap tahun perlu
didukung dengan lembaga pendidikan formal yang menerima anak dengan kondisi
tersebut. Sekolah sebagai lembaga formal jangan sampai menutup diri dengan tidak
menerima anak dengan kondisi tersebut karena akan berdampak masa depannya. Realita
dilapangan, ABK tersisihkan dan dianggap mengganggu proses pembelajaran karena anak
mengalami keterbatasan fisik dan menjadi sasaran olok-olokan anak non ABK.
Sekolah yang notabene tempat belajar yang nyaman malah menjadi tempat
menakutkan bagi anak tersebut.
Dengan
kondisi tersebut, sekolah perlu memahami regulasi yang ada dengan memfasilitasi
tempat belajar ramah anak yang mana setiap anak didik harus diajarkan saling
menyayangi dengan teman yang lain, tidak membanding-bandingkan walaupun ada anak
yang terbatas fisiknya. ABK juga manusia yang mempunyai hak untuk belajar,
berkumpul, dan bersosialisasi.
Perbedaan
terkadang membuat kebanyakan orang menjadi asing satu sama lain dan menjadikan
mereka renggang. Apalagi perbedaan ABK dengan anak yang normal. Interaksi
antara keduanya sangat kurang. Anak yang normal jarang sekali yang mau berteman
dengan anak yang ABK karena menurut mereka individu yang berkebutuhan khusus
tersebut tidak layak dijadikan teman dan mereka seringkali menjadikan anak ABK
tersebut sebagai bahan ejekan sehingga individu berkebutuhan khusus tersebut
menjadi minder ketika akan melakukan interaksi terhadap mereka. Orang tua anak
normal terkadang juga memberi larangan kepada anaknya agar tidak berteman
dengan anak ABK karena alasan tertular, atau bisa mempengaruhi sosial
emosional, sikap, perilaku kepada anak. Persepsi tersebut justru yang membuat
banyak ABK merasa tidak nyaman ketika berada dalam lingkup tersebut
karena mereka memiliki pemikiran bahwa saya memiliki kekurangan dan tidak layak
satu komunitas dengan mereka. [11]
Kondisi
anak-anak normal yang memisahkan diri dari ABK menjadikan mereka tersisih, sendirian
dan tidak punya teman. Hal itu menyebabkan anak menjadi terasing, penyendiri,
tidak punyak teman. Kondisi yang seperti itu perlu adanya formula supaya
sekolah menyadarkan setiap peserta didik untuk bergaul kepada siapa saja, tidak
pilih-pilih teman, dan menciptakan suasana peduli sesama teman. Sekolah
menciptakan suasana kekeluargaan sehingga akan didapatkan anak-anak yang saling
mengasihi, saling membantu dan saling peduli satu sama lain.
Wujudkan
Suasana Peduli dan Saling Kerjasama
Kesulitan
menyediakan SDM untuk menangani ABK menjadikan pendidikan inklusi pada
masing-masing sekolah menjadi terkendala ditambah sarana dan prasarana dan
fasilitas yang kurang memadai. Untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang
humanis, penulis mempunyai ide dan gagasan sebagai berikut:
1.
Setiap
sekolah membuat regulasi internal untuk semua anak agar tidak mem bully dan menyendirikan anak dengan
kondisi ABK
2.
Ciptakan
budaya peduli sesama teman, saling menyapa dan bermain bersama dan budaya untuk
saling berkomunikasi pada siapapaun yang ada di sekolahan
3.
Wujudkan
kesadaran bersama antara guru, karyawan dan seluruh peserta didik untuk peduli
dan menyayangi ABK karena bagaimanapun anak tersebut bagian dari ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa yang mempunyai hak untuk hidup, berkumpul, belajar dan memperoleh
pendidikan
4.
Sekolah
mengikutisertakan guru untuk mengikuti pelatihan pendidikan inklusi sehingga
penanganan ABK bisa diatasi dengan tepat
5.
Wujudkan
kerjasama dengan instansi pendidikan pada masing-masing daerah dan stakeholder yang peduli dengan
pendidikan inklusi
6.
Berikan
motivasi berkala untuk ABK sehingga rasa tidak percaya diri dan minder bisa
terkikis dengan semangat yang didapatkan dari guru
7.
Gali
potensi ABK dengan memfasilitasi sarana dan prasarana sesuai keahlian yang
dimiliki dan berikan reward atas
prestasi yang diperoleh dengan harapan menambah motivasi belajar
8.
Upayakan
komunikasi intensif antara sekolah dengan wali murid sehingga terwujud
kepedulian bersama bahwa pendidikan menjadi tugas bersama
9.
Sekolah
memperbanyak informasi mengenai regulasi sekolah inklusi sehingga penanganan
dan pengkondisian ABK bisa tepat sasaran dan sesuai dengan prosedur
Pendidikan
yang merata untuk semua kalangan, tidak hanya untuk anak-anak normal tetapi
juga untuk ABK. Pendidikan berkualitas tidak hanya mengukur pada tingginya
nilai tetapi pendidikan yang berkualitas diwujudkan dengan memberikan pelayanan
kepada semua anak tanpa membeda-bedakan dengan output penanaman karakter untuk bekal kehidupannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Elisa, S &
Wrastari, A. T. (2013). Sikap guru terhadap pendidikan inklusi ditinjau dari
faktor pembentuk sikap. Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, 2
(01)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 70 Tahun 2009
Praptiningrum, N. 2010. Fenomena penyelenggaraan pendidikan
inklusif bagi anak berkebutuhan khusus. JPK: Jurnal Pendidikan Khusus, 7
(2)
Sahidi, Arian. (2013). Implementasi Kebijakan
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (Doctoral dissertation, Tesis)
Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31
ayat 3
[1] Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 31 Ayat 1
[2] https://www.kompasiana.com/tanamilmu/perkembangan-pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia_55107ad1a33311273bba8243. Diakses Hari Senin,
20 November 2017
[3] Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
[4] Praptiningrum,
N. (2010). Fenomena penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan
khusus. JPK: Jurnal Pendidikan Khusus 7 (2)
[5] https://www.kompasiana.com/usfitriyah/59aa9d0418112a07ff097132/pro-kontra-pendidikan-inklusi. Diakses Rabu, 22
November 2017
[7] Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 31 ayat 3
[8] Syafrida
Elisa & Aryani Tri Wrastari. (2013). Sikap
guru terhadap pendidikan inklusi ditinjau dari faktor pembentuk sikap. Jurnal
Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, 2 (01)
[10] Arian Sahidi. (2016). Implementasi Kebijakan
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (Doctoral dissertation, Tesis).
[11] https://www.kompasiana.com/hanifatulismadi/59c66ae6bd57985b91026fe2/pendidikan-inklusif-menyatukan-anak-abk-dengan-anak-normal. Diakses Rabu, 22
November 2017